SINGLON

Singlon : Wadah Kreativitas dan Pengembangan Kebudayaan Daerah 

Oleh: Khonsa’ Iftinan Masruroh

            Apa yang mengemuka ketika kesadaran melestarikan kebudayaan daerah telah luntur, yaitu upaya menghadirkan kembali seni dan budaya sebagai wujud kearifan lokal melalui berbagai hal, terutama mengenai permasalahan bagaimana memunculkan minat untuk lebih mendalami dan menjiwai seni budaya tradisional. Konsekuensi menjadi Bangsa Indonesia adalah menerima ruang yang seluas-luasnya bagi adanya bermacam kebudayaan. Kebanggaan diiringi kegelisahan pastilah mewarnai perkembangan kebudayaan Indonesia. Bangga bahwasanya di dalam keberagaman budaya itulah tersemai mozaik yang menyusun keindonesiaan. Namun kegelisahan juga turut menyertai, terlebih ketika budaya asli Indonesia memudar, luntur, bahkan ditakutkan hilang digantikan oleh kebudayaan asing. 
            Berangkat dari permasalahan tersebut jika kita tenggok, dari sekian banyak anak muda yang telah terpengaruh bahkan didominasi oleh pola pikir dan budaya luar, pastilah ada segelintir anak yang masih mau ‘nguri-uri’ (melestarikan) dan mengembangkan kebudaya daerah. Animo ini tentu membanggakan dan harus disambut positif sebagai keikutsertaan mereka dalam melindungi kebudayaan tradisional sekaligus wujud nasionalisme terhadap Bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Forum Merti Dusun, dan Yayasan Danamon Peduli serta tak lepas dari peran beberapa seniman, bekerjasama untuk membangun lima sanggar budaya di wilayah Yogyakarta, salah satunya Sanggar Budaya Singlon.
            Sanggar yang dibangun kurang lebih selama dua tahun ini diresmikan oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwana X, pada tanggal 7 Juni 2008 dan berlokasi di Jalan Kawijo, Pengasih, Kulon Progo. “sanggar ini berdiri di atas tanah kas desa” tutur Andre Alfian sekertaris Singlon sekaligus pelatih dibidang musik. Meski telah lama terbentuk namun sangat disayangkan, sanggar tersebut masih berdiri di atas tanah kas desa. Terlepas dari hal itu, nama Singlon diambil dari nama seorang pahlawan Kulon Progo. Singlon merupakan nama muda dari Ki Sodewa, putra pangeran  Diponegoro. Nama tersebut diambil dengan harapan nantinya masyarakat mampu melestarikan  dan memperjuangkan kebudayaan daerah Kulon Progo. Keanggotaan sanggar bersifat kolektif, bagi yang berminat sangat dipersilahkan cukup dengan bermodal cinta seni dan kebudayaan bahkan tanpa dikenakan biaya sedikitpun.
            Kegiataan dalam sanggar meliputi seni musik, teater, tari, gamelan dan berbagai macam senirupa seperti bathik juga karawitan. Dalam seni bathik Sanggar Singlon yang diketuai oleh Joko Mursito bahkan mempunyai produk bathik sendiri yang diberi nama Bathik Thinthing. Bathik Thinting sendiri berasal dari istilah ‘tinthing’ yang berarti menyelaraskan nada, bathik ini memiliki corak dan motif bergambar gamelan seperti kendang, rebab, gong, dan gamelan gamelan lainnya. Sanggar ini bahkan lebih operasional, tak hanya melestarikan budaya tetapi juga mengembangkan kebudayaan sedemikian rupa sehingga layak disajikan di era modern ini, dan digemari oleh penonton, terbukti banyak tanggapan positif dari adanya berbagai hasil pengembangan seni yang telah dipertontonkan.
            Sebuah wadah, apalagi sanggar budaya, sejatinya merupakan upaya untuk menyemai jiwa berbudaya di kalangan masyarakat pada umumnya. Ia tak hanya diselenggarakan untuk sebatas ‘nguri-uri’ kebudayaan. Lebih dari itu, sanggar ini diharapkan mampu mendorong kaum muda untuk ikut ambil bagian dalam mengolah kebudayaan: menggeluti dan menggagas ide budaya baru tak terlepas dari budaya asli di tengah kemajuan zaman. Tujuan ini tentu mengharapkan posisi masyarakat yang tidak hanya suka budaya, tetapi juga memiliki pemahaman budaya alias melek budaya.
            Sanggar ini didirikan dari sebuah keprihatinan mengenai lunturnya semangat cinta budaya di kalangan masyarakat. Jadi sanggar ini akan berjalan dan berkambang dengan baik apabila melampaui tiga pencapaian. Pertama, masyarakat terdidik untuk tetap mencintai budaya lokalitas. Kedua sanggar mampu memicu lahirnya gagasan kreatif dalam bidang seni budaya. Ketiga, Pemerintah diharapkan memberikan perhatian khusus bagi pelaku budaya dan seni, baik berupa bantuan material maupun non-mateial. Kelangsungan hidup sanggar sangat tergantung pada semua elemen dalam masyarakat dan pemerintah, oleh karena itu dibutuhkan kerjasama dari semua kalangan untuk memajukan sanggar demi kebudayaan Bangsa Indonesia.

Ketua Sanggar, Joko Mursito sedang berdiri di depan sanggar
Sumber : Dokumen Pribadi
 

Komentar